Kamis, 28 Oktober 2010

Gereja abad 21


PERKEMBANGAN GEREJA PADA  ABAD 21

A.      Munculnya Gereja Protestan dan Gereja-Gereja Lain

Gerakkan reformasi pertama terhadap Gereja Katolik, dimulai oleh Lollards dan Hussites, yang kemudian berubah menjadi ancaman serius terhadap supremasi Gereja Katolik, ketika pada tahun 1517, seorang Imam bernama Martin Luther menentang keras penjualan suarat pengampunan dosa oleh gereja. Dia juga menolak supremasi Paus, menyangkal substantiation, serta mendorong para bangsawan Jerman untuk memisahkan kekuasaan mereka. Dan bangswan yang selama ini terkekang oleh supremasi Paus, hanya butuh sedikit dorongan saja untuk kemudian memisahkan diri dari bayangbayang kekuasaan Paus. Banyak diantara para bangsawan ini yang lalu bergabung dengan Martin Luther. Disinilah awal bedirinya Gereja Protestan, sebagai tandingan terhadap Gereja Katolik.
GEREJA DALAM KONTEKS INDONESIA AWAL ABAD 21
Apabila kita memperhatikan keberadaan Indonesia dan Gereja
Masa kini, maka terdapat beberapa kenyataan yang jelas sebagai berikut:
1.  Berbeda dengan keberadaan Gereja “induk”nya yang terutama berasal dari kebudayaan Kristen Barat, Gereja di sini hadir dalam suatu konteks dimana mayoritas penduduknya bukan Kristen dan terdiri dari agama dan kepercayaan yang beragam.
2. Struktur kekuasaan Indonesia
baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, militer merupakan struktur yang korup, yang sedang dalam tahap awal permulaan reformasi.
3. Ketimpangan baik dalam kekuatan ekonomi maupun pendidikan dan informasi sangat beragam. Perbedaan antara pusat dan daerah sangat menyolok. Banyak masyarakat yang merasa tidak puas dengan pemerintah yang ada, hingga menimbulkan tanda-tanda adanya gejala disintegrasi.
4. Indonesia adalah suatu bangsa yang besar dan terdiri dari ribuan suku bangsa yang tersebar di ribuan pulau. Tak dapat disangkal bahwa adat-istiadat merupakan unsur yang berkembang kuat di antara suku-suku. Interaksi dengan roh-roh halus dalam praktek adat istiadat tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi oleh Gereja dalam pelayanannya.

GEREJA DI TENGAH ADAT DAN KEBUDAYAAN

Pembebasan yang dikerjakan Kristus tidak hanya
membebaskan umat manusia dari dosa (pribadi), dosa struktur
masyarakat, maut, tetapi juga membebaskan manusia dari kesewenangwenangan
setan dan kuasa lainnya. Pesan Paulus dalam Efesus 6:12-13
lebih menegaskan tentang hal ini. Dalam kaitan dengan ini terlihat banyak
sekali suku dan tiap suku memiliki upacara adatnya sendiri. Selain
melihat dan mensyukuri adanya estetika budaya dalam tiap adat, maka
penting sekali bagi Gereja juga bersikap kritis dan peka terhadap semua
praktek yang dilakukan. Adakah “kuasa-kuasa” roh yang diundang dan
bekerja di dalamnya? Adakah orang yang mengaku “Kristen” sungguh-sungguh
telah dilepaskan dari kuasa-kuasa itu?
Keberadaan Gereja di negara kita sering dihubungkan dengan negeri
Belanda yang kolonialis dan telah menyengsarakan bangsa ini selama
350 tahun, sehingga kesan antipati yang terus dihembuskan oleh pihak pihak
yang tidak senang dengan perkembangan kekristenan di sini
seharusnya memacu Gereja untuk lebih “mempribumi.” Apa yang
diusulkan Kraemer di atas yaitu bahwa Gereja perlu mengusahakan relasi
yang hidup dengan dunia (termasuk di dalamnya budaya) perlu kembali
ditegaskan di sini. Tentang pentingnya mendengarkan budaya sebelum membangun teologi
lokal, perlu dikemukakan di sini adalah untuk mempertahankan keterbukaan dan kepekaan yang diharapkan terhadap suatu situasi lokal, diusulkan agar cara penginjilan dan
pengembangan gereja yang berlaku haruslah berupa usaha menemukan
Kristus dalam situasi, ketimbang memusatkan perhatian pada usaha
membangun Kristus ke dalam situasi itu.
Apakah makna menemukan Kristus dalam situasi? Apakah yang
dilakukan oleh Paulus di Atena (Kis 17:22-28) dengan terlebih dahulu
memperhatikan dan mendengar budaya dan kepercayaan mereka (ay.
16-23) dan kemudian menegaskan bahwa Allah yang diberitakannya
adalah Allah yang tidak dikenal (ay. 24-34) merupakan contoh dari
menemukan Kristus dalam situasi? Hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut.
Namun usulan untuk mendengarkan budaya ini memiliki tujuan yang
menurut penulis perlu diperhatikan: Pertama, identifikasi yang salah
tentang agama Kristen atau Kristus dengan Belanda/kolonialis/asing
dapat dihilangkan. Mereka dapat menemukan Kristus bukan sebagai
suatu sosok yang asing, tetapi merupakan sosok yang mereka temukan
dalam budaya mereka dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
budaya mereka dan dapat memenuhi dan memperkaya budaya mereka
Kedua, di tengah situasi bangsa dimana banyak suku yang merasa tidak
puas dengan proses pembangunan sekarang ini, penting sekali bagi Gereja
untuk memiliki sikap yang jelas yaitu mau mendengar dan mendampingi
mereka untuk mendapatkan kembali hak-hak yang selama ini terampas.
Ketiga, dengan mendengarkan mereka dapat dikembangkan teologi oleh
rakyat. Enrique Dussel20 mendefinisikannya sebagai suatu teologi yang
dilakukan oleh rakyat yang tertindas, oleh orang miskin, oleh yang
menderita. Hal tersebut merupakan praksi dalam cara yang populer,
mencerminkan pengalaman rakyat yang menjadi subyek dari produksi
teologis dan bukan menjadi obyek dari perluasan (ekstensi) teologi yang
bukan milik mereka (sekalipun teologi-teologi asing ini datang kepada
mereka dengan cara kerakyatan).
GEREJA MENGHADAPI KEMISKINAN DAN KEBODOHAN
Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini dengan
makin banyaknya pengemis/pengamen di jalan dan konflik horizontal
yang sering terjadi (baik antar pelajar atau antar suku/agama), maka jelas
inilah konteks negara kita yang perlu diperhatikan. Banyaknya penganggur
dan mudahnya orang dihasut dan diadudomba menggambarkan
kualitas warga masyarakat kita. Bagaimana seharusnya Gereja
yang menjadi wujud nyata “tubuh Kristus” menyapa konteks yang seperti
ini? Yang jelas Kristus sangat memperhatikan keberadaan orang-orang
yang miskin dan terlantar selama ia hidup di dunia (bdk. Mat 5:3; 9:35-
38). Jikalau kita memahami Gereja sebagai “tubuh Kristus,” yang
melaluinya Kristus hadir dan berkarya, maka teladan Yesus harus menjadi
nyata dalam kehidupan Gereja saat ini.
Apa yang dikemukakan oleh almarhum T. B. Simatupang dalam
Sidang Raya DGI tahun 1964 perlu menjadi catatan penting bagi peran
Gereja dalam menghadapi kemiskinan saat ini dan di masa mendatang.
Ia menyatakan:
Nasib kaum miskin, haruslah menjadi keprihatinan utama gereja-gereja
di Indonesia, dalam kerjasama dengan para penganut agama yang lain.
Injil adalah Kabar Baik untuk orang-orang miskin. Ini berarti tugas gereja
dalam pembangunan bukanlah semata-mata memperingan beban
penderitaan, tetapi pada saat yang sama menghapuskan ketidakadilan
yang menyebabkan penderitaan dalam masyarakat. Karenanya gereja
harus hadir bukan hanya dalam dunia mereka yang memperoleh
keuntungan dari pembangunan, melainkan juga (atau khususnya) di
tengah-tengah mereka yang menjadi korban pembangunan.
Pemikiran Simatupang tersebut telah terumus dengan tepat dan
kontekstual. Usulan agar mengajak kerjasama dengan agama lain
mungkin sesuatu yang masih belum lazim bagi Gereja. Namun mengingat
tuduhan yang sering dilontarkan bahwa usaha pelayanan sosial hanyalah
sebagai usaha “kristenisasi” maka kerjasama merupakan solusi yang baik.
Ada dua hal usaha yang perlu dilakukan bersama-sama dan menurut
penulis ini sama pentingnya dan sama mendesaknya bagi negara saat
ini. Usaha nyata dengan langsung menolong mereka yang miskin dan
usaha untuk mengubah struktur yang tidak adil, agar rakyat miskin dapat
memperoleh apa yang menjadi haknya sebagai warganegara yang
melimpah dengan kekayaan sumber alam ini. Gereja harus hadir dalam
usaha-usaha ini. Kehadiran Gereja dalam hal ini gaungnya akan lebih
nyaring terdengar dibanding dengan khotbah-khotbah yang sering hanya
merupakan retorika belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar